Lebaran idul fitri menjadi fenomena yang sangat berkesan bagi hampir semua orang, tidak terkecuali dengan saya beserta keluarga. Sebagian besar masyarakat yang merayakan lebaran idul fitri tentu merasakan suka cita di hari itu. Walaupun mungkin ada beberapa diantara kita yang tidak dapat menikmati meriahnya lebaran idul fitri, tetapi semua setuju mengenai hari lebaran sebagai hari yang suci dan juga diyakini sebagai hari kemenangan setelah sebulan sebelumnya melaksanakan puasa demi melawan hawa nafsu.
Berharap di hari lebaran itu Tuhan mengampuni segala kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat dan menjadikan bersih dari segala dosa sehingga kembali fitri layaknya seperti bayi yang baru lahir.
Tetapi mungkin sudah menjadi sifat manusia yang tak lepas dari kesalahan, baru beberapa hari selepas lebaran, suasana kembali memanas dan sudah terlihat perusakan pada hari yang indah itu. Tradisi mudik yang dari awal didasari tujuan untuk saling silahturahmi seolah hanya terbatas pada kerabatnya saja, ketika di jalanan masih ada saja yang enggan untuk mengalah dengan yang lain. Ahh.. mungkin saya saja yang merasakan ketika diperjalanan mudik dan balik itu.
Kita lupakan saja kenangan selama diperjalanan itu karena mungkin bukan tugas kita yang harus mengatur jalanan, tetapi kenapa jadi menyalahkan orang lain? Lalu dimana istilah saling memaafkan itu? Berharap sekeliling kita harus benar, tapi kita bagaimana?
Demi mempertahankan hidup yang lebih baik setelah merasa tak lagi memiliki dosa karena melalui lebaran, terlihat penuh semangat, berlomba dan berlomba. Tetapi tanpa disadari gesekan-gesekan kembali membuat luka baru. Setelah sebulan berlalu, sifat-sifat manusiawi terus tumbuh berkembang dan tidak lagi seperti bayi.
Hari-hari lebaran yang sebelumnya bernuansa surgawi sekarang mulai memudar, senyum manis si Fitri mulai terlihat hambar, benar dan salah mulai samar.
Ahh.. mungkin itu perasaanku saja.