ilustrasi: bunglon beradaptasi |
Sewaktu aku menyampaikan niat untuk menambah ornamen yang mencirikan budaya betawi pada bangunan rumahku, istri sempat bertanya, "Pa, kita kan orang jawa, kenapa harus ngikuti model betawi? kenapa nggak model seperti rumah jawa?"
Aku bilang, "Mama, pasti pernah denger istilah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, kan?" Kuperhatikan, istriku mencoba mengingat. "Nah, itu yang ingin kita terapkan, karena kita tinggal di Jakarta", lanjutku mencoba memberi penjelasan.
Coba kita perhatikan, bangunan-bangunan masjid yang dibuat oleh para wali sanga di tanah jawa, apakah seperti model masjid di tanah arab? Beda kan? Mengapa tidak membangun masjid seperti model masjid di arab? Hal itu karena dulu para wali sanga itu juga mengedepankan istilah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Makanya perkembangan islam dahulu mudah diterima oleh masyarakat.
Ciri-ciri Masjid yang dibangun para wali pada umumnya, seperti Masjid Demak atau Masjid Sunan Gunung Jati bentuk bangunannya menyesuaikan tradisi masyarakat dan lingkungan sekitar, tidak selalu ada kubah masjid yang berbentuk setengah lingkaran diatas atap masjid seperti di tanah arab. Itu merupakan bentuk adaptasi dan memiliki tingkat toleransi yang tinggi.
Boleh saja kita mencirikan jati diri kita di tengah-tengah lingkungan atau masyarakat sekitar, asal itu tidak merugikan diri kita dan orang lain. Tetapi kalau beradaptasi dengan lingkungan itu lebih baik kenapa enggak? dan yang lebih penting adalah sesuatu yang kita lakukan bukan karena hanya meniru-niru atau ikut-ikutan saja tanpa tahu apa yang sebenarnya kita perbuat.
0 Komentar:
Posting Komentar
Bagi komentar anda, monggo...